Rabu, 22 September 2010

NKRI Ini Bisa diKatakan Akan Menjadi Baik Jika """""" BERANI MEMANGKAS PEGAWAI NEGERI SIPIL "

Sudah berulang kali Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara berbicara tentang keinginan mengurangi jumlah pegawai negeri sipil. Keinginan itu dipicu sejumlah hal.

Jumlah pegawai negeri saat ini yang mencapai sekitar empat juta orang dirasa terlalu banyak.

Kinerja dan produktivitas PNS tergolong rendah sehingga tidak menjadi pendorong kemajuan.

Dengan jumlah pegawai negeri sebanyak itu negara harus menghabiskan uang PULUHAN TRILIUN Rupiah setiap tahun untuk membayar gaji. Sebuah PEMBOROSAN yang mahahebat ketika diperbandingkan dengan KINERJA

Sekarang ini jumlah PNS sudah mencapai 3,7 juta orang. Menurut Menneg PAN yang dibutuhkan kira-kira hanya 2,5 juta orang.

Hanya 60% PNS yang bekerja efektif dan selebihnya bisa dikatakan kurang produktif. Padahal mereka digaji setiap bulan dan anggaran untuk gaji PNS setiap tahun triliunan rupiah.

Bagaimana itu bisa terjadi? Tentu kesalahan sejak proses perekrutan di samping belum adanya ketegasan dan kejelasan kebijakan mengenai hal ini

Selain itu ada beberapa temuan yang mengejutkan. tidak kurang dari 66.000 PNS berstatus ganda. Ia menjadi pegawai negeri di dua atau lebih instansi.

Ada juga (jumlahnya banyak) pegawai negeri yang sudah meninggal atau pensiun, tetapi tetap dibayar gajinya, termasuk ribuan yang tidak masuk kantor bertahun-tahun, tetapi tetap memperoleh gaji.

Jadi, dari sisi administrasi PNS terdapat kesemrawutan luar biasa. Tidak karena sistem pencatatan yang buruk, tetapi sengaja dibuat buruk agar membuka peluang korupsi. Misalnya PNS ganda, atau yang sudah meninggal tetapi tetap dibayar gajinya.

Tabiat PNS seperti inilah yang menyebabkan mereka tidak menjadi kekuatan birokrasi yang cerdas dan cekatan. Mereka, seperti banyak dikeluhkan, menjadi penghambat. Ini rupanya sejalan dengan gerak pembangunan yang melambat di mana-mana.

Dalam suasana krisis seperti sekarang ini, sumber dana yang menggerakkan perekonomian ada atau datang dari kantong pemerintah. Bisa dibayangkan bagaimana dana-dana itu bisa digerakkan menjadi produktif bila dikerubuti atau diurus oleh pegawai-pegawai yang disorganisasi dan disorientasi.

Akan tetapi, seperti dikemukakan berulang-ulang, pengurangan pegawai negeri atau justru penambahan, dilakukan setelah diadakan audit kinerja menyeluruh terhadap PNS di seluruh Indonesia. Dengan audit seperti itu, diketahui kapasitas dan kapabilitas orang per orang maupun lembaga.

Sayang, sampai saat ini kita belum mendengar langkah cepat dan tegas tentang audit kinerja itu. Pemerintah masih berteriak tentang wacana kelebihan dan pemangkasan jumlah pegawai.

Audit yang dilakukan haruslah menjadi bagian dari program besar tentang reformasi birokrasi. Jika dibandingkan dengan sektor lainnya, birokrasi hampir tidak tersentuh kehendak perubahan. Itulah sebabnya mengapa hingga hari ini keluhan tentang birokratisasi terdengar dan terjadi di hampir seluruh instansi pemerintah.

Tanpa menyentuh birokrasi secara berani dan tegas, Indonesia akan selalu tertinggal dari negara lain dalam laju perubahan dan perkembangan. Karena itu, bila pemerintah bertekad memangkas satu juta pegawai negeri, zero growth harus dipatuhi dengan sungguh-sungguh.

Bila setiap tahun terdapat 120.000 PNS yang pensiun, itu berarti dalam jangka waktu hampir 10 tahun zero growth dipertahankan. Kalau toh ada rekrutmen, hanya dibolehkan untuk jenis keahlian tertentu seperti guru dan tenaga medis.

Akan tetapi yang paling sulit dipertahankan di Republik ini ialah konsistensi. Kebijakan pemangkasan PNS dan audit ini bisa jadi diabaikan sama sekali ketika pemerintahan berganti.

Paradigma baru yang perlu dikembangkan, menyusul apa yang sudah dilakukan di banyak negara, adalah efisiensi birokrasi. Perampingan yang diarahkan pada peningkatan profesionalisme dan juga produktivitas.

Bukan rahasia lagi sekarang ini banyak PNS yang setengah menganggur ataupun kurang memiliki kemampuan sesuai bidang tugasnya. Paradigma baru juga mengarahkan pada fungsi kewirausahaan karena hakikatnya sebagai pelayan dan abdi masyarakat.

Sudah bukan waktunya lagi memolitisasi atau berpikir secara politis. Akan tetapi lagi-lagi kita harus bertanya, benarkah kita sudah berubah. Dari hanya pandai berwacana menjadi benar-benar siap dengan implementasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar